o Penggunaan
Lahan Perkotaan
Secara
umum, pola penggunaan lahan perkotaan memiliki 3 ciri (Sadyohutomo,
2006:71),antara lain :
1. Pemanfaatannya
dengan intensitas yang tinggi yang disebabkan oleh populasi penduduk yang lebih
tinggi dari kawasan pedesaan. Dengan demikian, dalam pasar investasi tingkat permintaan
akan lahan juga tinggi dan nilai guna lahan kawasan perkotaan cenderung lebih tinggi
pula.
2. Adanya
keterkaitan yang erat antar unit-unit penggunaan tanah.
3. Ukuran
unit-unit penggunaan lahan didominasi luasan yang relatif kecil. Hal ini sangat
berbeda dengan kawasan pedesaan yang memungkinkan sebentang lahan yang luas
memiliki satu fungsi yang sama sehingga cocok untuk kegiatan budi daya agraria.
Secara
umum, klasifikasi penggunaan tanah pada kawasan perkotaan dapat dibagi menjadi
7 jenis (Sadyohutomo, 2006: 72) , antara lain :
a. Perumahan,
berupa kelompok rumah sebagai tempat tinggal lengkap dengan prasarana dan sarana
lingkungan.
b. Perdagangan,
berupa tempat transaksi barang da jasa yang secara fisik berupa bangunan pasar,
toko, pergudangan dan lain sebagainya.
c. Industri,
adalah kawasan untuk kegiatan proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang
setangah jadi atau barang jadi.
d. Jasa,
berupa kegiatan pelayanan perkantoran pemerintah, semi komersial, kesehatan,
sosial, budaya dan pendidikan.
e. Taman,
adalah kawasan yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik, hutan kota dan
taman kota.
f. Perairan,
adalah areal genangan atau aliran air permanen atau musiman yang terjadi secara
buatan dan alami.
g. Lahan
kosong, berupa lahan yang tidak dimanfaatkan
o Penggunaan
Lahan Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 41 tahun 2007
Sesuai
dengan amanat Undang Undang Penataan Ruang, tata laksana kegiatan perencanaan
tata ruang dilakukan dengan mempergunakan seperangkat pedoman teknis yang salah
satunya mengatur analisis dan klasifikasi penggunaan lahan untuk kawasan
pedesaan dan perkotaan.
Peraturan
Menteri PU nomor 41 tahun 2007 mengatur klasifikasi penggunaan lahan menjadi
dua kelompok besar, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Kawasan
lindung, adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan.
2. Kawasan
budidaya, adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan
c.
Perencanaan Penggunaan Lahan
Perencanaan
peruntukan lahan untuk suatu fungsi tertentu dan besarnya volume kegiatan yang
diijinkan di atas suatu lahan akan berbeda-beda pada setiap daerah kota sesuai
dengan karakteristik kegiatan dan masalah yang berkaitan. Kenyataan ini
mengarahkan bagaimana seharusnya suatu daerah dikembangkan dan
didefinisikan secara baik. Peruntukan penggunaan ruang atau lahan suatu tempat
secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang terkait, dan bagaimana
seharusnya suatu daerah atau zona dikembangkan.
Shirvani
(1985:9) menyimpulkan bahwa tata guna lahan perlu mempertimbangkan dua hal,
yaitu pertimbangan segi umum dan aktifitas pejalan kaki (street level) yang
akan menciptakan lingkungan yang lebih manusiawi. Selanjutnya dia mencontohkan
dalam Urban Design Process, bahwa Kota Seattle dan Washington menggunakan
istilah Floor Area Districts, yang didasarkan atas tata guna lahan khusus dan
kondisi aksesibilitas di daerah tertentu, sehingga ketentuan mengenai tata guna
lahan dapat disesuaikan langsung dengan masalah bagaimana seharusnya suatu
daerah dikembangkan. Selanjutnya dikatakan bahwa land use planning merupakan
proses alokasi sumber daya yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga manfaatnya
dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat kota secara luas. Perencanaan
ini berkaitan dengan land use policies yang akan menentukan hubungan antara
rencana (plan) dan kebijaksanaan (policy). Suatu rencana tata guna lahan (land
use plan) yang dibuat dalam kaitannya dengan land use policies akan menentukan
hubungan antara rencana (plan) dan policy (kebijaksanaan) akan menentukan
fungsi yang tepat dari suatu daerah tertentu.
Catanesse (1988 : 281),
mengatakan bahwa secara umum ada 4 (empat) kategori alat-alat perencanaan tata
guna lahan, untuk melaksanakan rencana, yaitu:
1. Penyediaan
fasilitas umum
Fasilitas umum
diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal dengan cara
melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik jalan (damija).
2. Peraturan-peraturan
pembangunan
Ordonansi
yang mengatur pendaerahan (zoning), peraturan tentang pengaplingan, dan
ketentuan-ketentuan hukum lain mengenai pembangunan, merupakan jaminan agar
kegiatan pembangunan oleh sektor swasta mematuhi standar dan tidak menyimpang
dari rencana tata guna lahan.
3. Himbauan,
kepemimpinan dan koordinasi
Sekalipun
agak lebih informal dari pada program perbaikan modal atau peraturan-peraturan
pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin agar
gagasan-gagasan, data-data, informasi dan risat mengenai pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat daat masuk dalam pembuatan keputusan kalangan developer
swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum.
4.
Rencana tata guna lahan
Rencana
saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
serta saran-saran yang dikandungnya selama itu semua terbuka dan tidak basi
sebagai arahan yang secara terus-menerus untuk acuhan pengambilan keputusan
baik kalangan pemerintah maupun swasta. Suatu cara untuk melaksanakan hal itu
adalah dengan cara meninjau, menyusun dan mensyahkan kembali, rencana tersebut
dari waktu ke waktu. Cara lain adalah dengan menciptakan rangkaian
bekesinambungan antara rencana tersebut dengan perangkat-perangkat pelaksanaan
untuk mewujudkan rencana tersebut.
No comments:
Post a Comment