b.
Penggunaan Lahan dalam Satuan Persil
Penggunaan lahan sering disalah artikan
dengan fasilitas, sebagai contoh tata guna lahan perdagangan atau komersial
sering disamakan dengan fasilitas pasar atau pertokoan, padaha kedua istilah
ini berbeda. Seperti sudah dijelaskan di atas, penggunaan lahan mengarah pada bentang
tanah yang ditetapkan memiliki fungsi tertentu. Secara fisik sudah tentu berupa
ruangyang dibatasi oleh batas kepemilikan atau pengelolaan lahan. Sementara
itu, fasilitas adalah unitpelayanan yang memiliki fungsi tertentu dan biasanya
secara fisik berupa bangunan. Dengandemikian, sebentang lahan dengan peruntukan
kegiatan jasa (guna lahan jasa), di atasnya dapat dibangun beberapa fasilitas
antara lain kantor, sekolah, puskesmas dan lain sebagainya.
Penggunaan
lahan terjadi pada berbagai skala pemetaan. Pemanfaatan lahan dengan melihat
hak perorangan dilakukan pada lahan dalam satuan persil. Menurut RUU tentang
pokok-pokok bina kota (1) tahun 1970, persil merupakan sebidang tanah yang
dibebani sesuatu hak perorangan atau badan hukum (Soedjono, 1978). Dalam hal
ini lahan dipandang berdasar pada hak pemilikan seseorang atas lahan. Atribut
pokok yang melekat pada lahan tersebut adalah siapa yang berhak atas lahan
tersebut.
Pada
lahan-lahan dalam satuan persil, pengunaan lahan oleh masyarakat terkait dengn
adanya hak atas lahan tersebut. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan
beberapa jenis hak yang berlaku atas suatu lahan. Hak-hak atas lahan yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
hak milik
2.
hak guna
usaha
3.
hak guna
bangunan
4.
hak pakai
5.
hak sewa
6.
hak membuka
tanah
7.
hak memungut
hasil hutan. (pasal 16 UUPA tahun 1960 dalam Boedi Harsono, 1981)
Masing-masing
bidang lahan memiliki status hak yang dipegang oleh individu, keluarga, atau
sekelompok masyarakat. Suatu lahan tidak memiliki status hak ganda.
Masing-masing lahan hanya memiliki satu jenis status.
Selanjutnya
untuk mengatur hak-hak tersebut di atas perlu ditentukan mengenai batas-batas
luas penguasaan lahan pada suatu wilayah tertentu. Batas-batas tersebut berupa
batas maksimal atau batas minimal penguasaan lahan. Batas-batas maksimal atau
minimal tersebut merupakan batas-batas luas lahan yang boleh dikuasai oleh
individu atau kelompok masyarakat di wilayah tersebut (pasal 17 UUPA tahun 1960
dalam boedi harsono, 1981). Batas maksimal merupakan batas terluas dari suatu
lahan yang boleh dikuasai oleh satu individu, keluarga atau kelompok
masyarakat. Jika satu individu, keluarga atau masyarakat memimliki dengan luas
lebih dari batas maksimal yang ditentukan maka lahan tersebut harus dipecah dan
dikuasakan kepada individu, keluarga atau kelompok masyarakat lain. Batas
minimal adalah batas terkecil dari luas lahan yang boleh dikuasai oleh
individu, keluarga atau kelompok masyarakat. Dalam hal ini, lahan hanya boleh
dikuasai dengan luas lebih dari batas minimal tersebut. Jika terdapat individu,
keluarga, atau kelompok masyarakat yang memiliki hak penguasaan lahan dengan
luas kurang dari batas minimal, maka status penguasaan tersebut haruslah
dilakukan penggabungan dengan lahan lain. Penggabungan lahan ini dilakukan
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Batas-batas
maksimal atau minimal penguasaan lahan tidak sama pada satu wilayah dengan
wilayah lainnya. Penentuan batas-batas maksimal dan minimal ini tergantung pada
tingkat kepadatan penduduk, lokasi daerah, dan kepentingan daerah yang
ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Pada umumnya
suatu ruang tertentu dapat digunakan untuk berbagai alternative kegiatan,
seperti pemukiman, industri, pertanian, dan sebagainya. Apabila suatu kegiatan
tertentu telah dilakukan di suatu ruang tertentu pada swaktu yang sama tidak
dapat dilakukan suatu kegiatan lain. Karena itu dapat terjadi persaingan,
bahkan konflik dalam pemanfaatan ruang antara berbagai macam kegiatan yang
dapat menghambat kelancaran kegiatan itu. Hak guna usaha, misalnya kegiatan
pertanian dapat terjadi tumpang tindih dengan kegiatan pertambangan berdasarkan
hak kuasa pertambangan (daud, 2001).
Dinamika
pengunaan lahan sesuai dengan nilai kegiatan ekonomi pada suatu saat, seperti
dari hutan ke perladangan, dari perladangan ke perkebunan, dari perkebunan ke
persawahan, dari persawahan ke perumahan dan seterusnya (brahmana, 2002). Lahan
memiliki nilai ekonomis yang dipengaruhi oleh lingkungan pada lokasi lahan
tersebut. Pada daerah perkotaan nilai ekonomis lahan dikaitkan dengan kemudahan
aksesibilitas mencapai lahan tersebut. Dengan demikian lahan-lahan yang berada
pada tepi jalan akan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan
lahan-lahan yang berada jauh dari jalan. Faktor lain adalah jauh dekatnya lahan
dengan pusat-pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, pasar, sekolah, dan
sarana kesehatan. Pada daerah pedesaan, factor utama penentu nilai ekonomis
lahan adalah tingkat kesuburan tanah pada lahan tersebut. Dengan demikian nilai
lahan dapat bernilai rendah bila kesuburannya rendah, tetapi dapat pula menjadi
tinggi apabila letaknya strategis untuk maksud-maksud ekonomi non pertanian
(hadi sabari yunus, 2001).
Pemilihan penggunaan
lahan oleh pemilik lahan sering dipengaruhi oleh nilai ekonomis lahan tersebut.
Lahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi cenderung akan digunakan untuk
berbagai penggunaan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomis seperti perdagangan
dan jasa. Sedangkan lahan yang memiliki nilai ekonomis rendah cenderung akan
digunakan sebagai lahan permukiman.
Proses
perubahan pengunaan lahan atau dalam skala persil disebut dengan konversi lahan
mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk formal dan bentuk informal. Bentuk formal
adalah konversi lahan pedesaan yang dilakukan secara teratur dan formal oleh
pemerintah. Bentuk konversi informal adalah bentuk perubahan penggunaan lahan
oleh individu atau orang-orang pemilik lahan tersebut dengan sendiri-sendiri
tanpa pengawasan oleh pemerintah. Bentuk konversi lahan secara formal merupakan
bentuk yang secara ideal dapat mengarahkan penataan pembangunan fisik yang
terencana dan terkendali. Konversi lahan secara informal dapat memunculkan
perkembangan fisik kota yang tidak teratur dan mahalnya biaya pembangunan
infrastruktur kota . Konversi lahan secara informal banyak terjadi dalam
masyarakat pada Negara sedang berkembang seperti Indonesia (Achmad, 1999).
Konversi
lahan secara faktual memunculkan bentuk perubahan sebagai berikut:
Ø Perubahan pemilik lahan dengan tanpa diikuti perubahan pengunaan lahannya.
Ø Perubahan pemilik lahan dengan diikuti perubahan penggunaan lahannya.
Ø Perubahan pemilik lahan dengan diikuti perubahan penggunaan lahan pada
sebagian lahan tersebut.
Ø Tidak terjadi perubahan pemilik lahan tetapi terjadi perubahan penggunaan
pada lahan tersebut.
Dari perubahan proses tersebut, dapat ditarik dasar perubahan adalah pada
atribut pemililkan dan penggunaan atas lahan tersebut. Desa merupakan suatu
lokasi di pedesaan dengan kondisi lahan sangat heterogen dan topografi yang
beraneka ragam. Pola tata ruangnya sangatlah tergantung pada topografi yang
ada. Pola tata ruang merupakan pemanfaatan ruang atau lahan di desa untuk
keperluan tertentu sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan berguna bagi
kelangsungan hidup penduduknya.
Kawasan
pedesaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan kawasan perkotaan. Menurut
UU nomor 26 tahun 2007 dan Peraturan Menteri PU nomor 41 tahun 2007, kawasan
pedesaanadalah wilayah yang memiliki kegiatan utama pertanian (agraria)
termasuk pengelolaansumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang didominasi oleh
kegiatan bukan pertanian. Berikut ini akan dijelaskan penggunaan lahan yang
secara umum ada di kawasan pedesaan dan perkotaan
o Penggunaan
Lahan Pedesaan
Lahan pedesaan sebagian besar
dimanfaatkan untuk kegiatan sektor pertambangan danagraria, seperti pertanian,
perkebunan, peternakan dan perikanan. Sesuai dengan karakteristik aktivitasnya,
penggunaan lahan di kawasan pedesaan cenderung mempergunakan unit lahanyang
luas dengan intensitas penggunaan yang rendah, artinya cenderung bukan lahan
terbangun.
Klasifikasi lahan pada kawasan
pedesaan ada beberapa jenis (Sadyohutomo, 2006: 46), antara
lain
:
ü Perkampungan,
adalah kawasan yang digunakan untuk tempat tinggal masyarakat secara tetap yang
meliputi bangunan dan pekarangannya.
ü Industri,
adalah kawasan yang dipergunakan untuk kegiatan ekonomi pengolahan bahanbahan bau
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
ü Pertambangan,
adalah kawasan yang dieksploitasi untuk pengambilan material bahan tambang baik
secara terbuka maupun tertutup.
ü Persawahan,
adalah kawasan pertanian yang terdiri dari petak-petak pematang dan digenangi
air secara periodik, ditanami padi dan dapat pula diselingi tanaman palawija,
tebu, tembakaudan tanaman semusim lainnya. Persawahan ini dapa diklasifikasikan
lagi menjadi sawah beririgasi , sawan non-irigasi dan sawah pasang surut.
ü Persawahan,
adalah kawasan pertanian yang terdiri dari petak-petak pematang dan digenangi air
secara periodik, ditanami padi dan dapat pula diselingi tanaman palawija, tebu,
tembakaudan tanaman semusim lainnya. Persawahan ini dapa diklasifikasikan lagi
menjadi sawah beririgasi , sawan non-irigasi dan sawah pasang surut.
ü Pertanian
tanah kering semusim, adalah areal tanah pertanian yang tidak pernah dialiri
air dan mayoritas ditanami tanaman umur pendek.
ü Perkebunan,
adalah kawasan yang ditanami satu jenis tanaman keras.
o
Pemanfaatan
lahan di desa dibedakan atas dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi sosial adalah untuk perkampungan desa.
2. Fungsi ekonomi adalah dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi seperti , sawah,
perkebunan, pertanian dan peternakan
Dalam
penataan ruang desa maupun kota diperlukan empat komponen, yaitu :
1.
Sumberdaya
alam,
2.
Sumber daya manusia,
3.
IPTEK dan
4.
Spatial
(keruangan)
Pola tata
ruang desa pada umumnya sangat sederhana, letak rumah di kelilingi pekarangan
cukup luas, jarak antara rumah satu dengan lain cukup longgar, setiap rumah
mempunyai halaman, sawah dan ladang di luar perkampungan.
Pada desa
yang sudah berkembang pola tata guna lahan lebih teratur, yaitu adanya
perusahaan yang biasa mengolah sumberdaya desa, terdapat pasar tradisional,
tempat ibadah rapi, sarana dan prasarana pendidikan serta balai kesehatan.
Semakin maju daerah pedesaan, bentuk penataan ruang semakin teratur dan tertata
dengan baik.
Pola
persebaran dan pemukiman desa menurut R Bintarto (1977) sebagai berikut:
1.
Pola Radial
2.
Pola Tersebar
3.
Pola
memanjang sepanjang pantai
4.
Pola
memanjang sepanjang sungai
5.
Pola
memanjang sepanjang jalan
6.
Pola
memanjang sejajar dengan jalan kereta api
Bentuk dan
pola tata ruang kota, dalam penataannya tidak terlepas memperhatikan corak
kehidupan penduduk, karena penduduk kota sudah memiliki corak ragam kehidupan
yang heterogen, sehingga pola pola tataguna lahan untuk ruang di kota sudah
dirancang dengan baik terutama memperhatikan pengadaan sarana perkotaan dengan
baik dan terpadu yang meliputi :
1.
Penyediaan
air bersih
2.
Drainase yang baik
3.
Pengelolaan
sampah
4.
Sanitasi
lingkungan
5.
Perbaikan kampong
6.
Pemeliharaan
jalan kota
7.
Perbaikan
prasarana fungsi pasar.
No comments:
Post a Comment