Wednesday, May 20, 2015

Penggunaan Lahan dalam Satuan Persil



b. Penggunaan Lahan dalam Satuan Persil
            Penggunaan lahan sering disalah artikan dengan fasilitas, sebagai contoh tata guna lahan perdagangan atau komersial sering disamakan dengan fasilitas pasar atau pertokoan, padaha kedua istilah ini berbeda. Seperti sudah dijelaskan di atas, penggunaan lahan mengarah pada bentang tanah yang ditetapkan memiliki fungsi tertentu. Secara fisik sudah tentu berupa ruangyang dibatasi oleh batas kepemilikan atau pengelolaan lahan. Sementara itu, fasilitas adalah unitpelayanan yang memiliki fungsi tertentu dan biasanya secara fisik berupa bangunan. Dengandemikian, sebentang lahan dengan peruntukan kegiatan jasa (guna lahan jasa), di atasnya dapat dibangun beberapa fasilitas antara lain kantor, sekolah, puskesmas dan lain sebagainya.
Penggunaan lahan terjadi pada berbagai skala pemetaan. Pemanfaatan lahan dengan melihat hak perorangan dilakukan pada lahan dalam satuan persil. Menurut RUU tentang pokok-pokok bina kota (1) tahun 1970, persil merupakan sebidang tanah yang dibebani sesuatu hak perorangan atau badan hukum (Soedjono, 1978). Dalam hal ini lahan dipandang berdasar pada hak pemilikan seseorang atas lahan. Atribut pokok yang melekat pada lahan tersebut adalah siapa yang berhak atas lahan tersebut.
Pada lahan-lahan dalam satuan persil, pengunaan lahan oleh masyarakat terkait dengn adanya hak atas lahan tersebut. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan beberapa jenis hak yang berlaku atas suatu lahan. Hak-hak atas lahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      hak milik
2.      hak guna usaha
3.      hak guna bangunan
4.      hak pakai
5.      hak sewa
6.      hak membuka tanah
7.      hak memungut hasil hutan. (pasal 16 UUPA tahun 1960 dalam Boedi Harsono, 1981)
Masing-masing bidang lahan memiliki status hak yang dipegang oleh individu, keluarga, atau sekelompok masyarakat. Suatu lahan tidak memiliki status hak ganda. Masing-masing lahan hanya memiliki satu jenis status.
Selanjutnya untuk mengatur hak-hak tersebut di atas perlu ditentukan mengenai batas-batas luas penguasaan lahan pada suatu wilayah tertentu. Batas-batas tersebut berupa batas maksimal atau batas minimal penguasaan lahan. Batas-batas maksimal atau minimal tersebut merupakan batas-batas luas lahan yang boleh dikuasai oleh individu atau kelompok masyarakat di wilayah tersebut (pasal 17 UUPA tahun 1960 dalam boedi harsono, 1981). Batas maksimal merupakan batas terluas dari suatu lahan yang boleh dikuasai oleh satu individu, keluarga atau kelompok masyarakat. Jika satu individu, keluarga atau masyarakat memimliki dengan luas lebih dari batas maksimal yang ditentukan maka lahan tersebut harus dipecah dan dikuasakan kepada individu, keluarga atau kelompok masyarakat lain. Batas minimal adalah batas terkecil dari luas lahan yang boleh dikuasai oleh individu, keluarga atau kelompok masyarakat. Dalam hal ini, lahan hanya boleh dikuasai dengan luas lebih dari batas minimal tersebut. Jika terdapat individu, keluarga, atau kelompok masyarakat yang memiliki hak penguasaan lahan dengan luas kurang dari batas minimal, maka status penguasaan tersebut haruslah dilakukan penggabungan dengan lahan lain. Penggabungan lahan ini dilakukan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.
 Batas-batas maksimal atau minimal penguasaan lahan tidak sama pada satu wilayah dengan wilayah lainnya. Penentuan batas-batas maksimal dan minimal ini tergantung pada tingkat kepadatan penduduk, lokasi daerah, dan kepentingan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Pada umumnya suatu ruang tertentu dapat digunakan untuk berbagai alternative kegiatan, seperti pemukiman, industri, pertanian, dan sebagainya. Apabila suatu kegiatan tertentu telah dilakukan di suatu ruang tertentu pada swaktu yang sama tidak dapat dilakukan suatu kegiatan lain. Karena itu dapat terjadi persaingan, bahkan konflik dalam pemanfaatan ruang antara berbagai macam kegiatan yang dapat menghambat kelancaran kegiatan itu. Hak guna usaha, misalnya kegiatan pertanian dapat terjadi tumpang tindih dengan kegiatan pertambangan berdasarkan hak kuasa pertambangan (daud, 2001).
Dinamika pengunaan lahan sesuai dengan nilai kegiatan ekonomi pada suatu saat, seperti dari hutan ke perladangan, dari perladangan ke perkebunan, dari perkebunan ke persawahan, dari persawahan ke perumahan dan seterusnya (brahmana, 2002). Lahan memiliki nilai ekonomis yang dipengaruhi oleh lingkungan pada lokasi lahan tersebut. Pada daerah perkotaan nilai ekonomis lahan dikaitkan dengan kemudahan aksesibilitas mencapai lahan tersebut. Dengan demikian lahan-lahan yang berada pada tepi jalan akan memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan lahan-lahan yang berada jauh dari jalan. Faktor lain adalah jauh dekatnya lahan dengan pusat-pusat kegiatan seperti pusat pemerintahan, pasar, sekolah, dan sarana kesehatan. Pada daerah pedesaan, factor utama penentu nilai ekonomis lahan adalah tingkat kesuburan tanah pada lahan tersebut. Dengan demikian nilai lahan dapat bernilai rendah bila kesuburannya rendah, tetapi dapat pula menjadi tinggi apabila letaknya strategis untuk maksud-maksud ekonomi non pertanian (hadi sabari yunus, 2001).
Pemilihan penggunaan lahan oleh pemilik lahan sering dipengaruhi oleh nilai ekonomis lahan tersebut. Lahan yang memiliki nilai ekonomis tinggi cenderung akan digunakan untuk berbagai penggunaan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomis seperti perdagangan dan jasa. Sedangkan lahan yang memiliki nilai ekonomis rendah cenderung akan digunakan sebagai lahan permukiman.
Proses perubahan pengunaan lahan atau dalam skala persil disebut dengan konversi lahan mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk formal dan bentuk informal. Bentuk formal adalah konversi lahan pedesaan yang dilakukan secara teratur dan formal oleh pemerintah. Bentuk konversi informal adalah bentuk perubahan penggunaan lahan oleh individu atau orang-orang pemilik lahan tersebut dengan sendiri-sendiri tanpa pengawasan oleh pemerintah. Bentuk konversi lahan secara formal merupakan bentuk yang secara ideal dapat mengarahkan penataan pembangunan fisik yang terencana dan terkendali. Konversi lahan secara informal dapat memunculkan perkembangan fisik kota yang tidak teratur dan mahalnya biaya pembangunan infrastruktur kota . Konversi lahan secara informal banyak terjadi dalam masyarakat pada Negara sedang berkembang seperti Indonesia (Achmad, 1999).
Konversi lahan secara faktual memunculkan bentuk perubahan sebagai berikut:
Ø  Perubahan pemilik lahan dengan tanpa diikuti perubahan pengunaan lahannya.
Ø  Perubahan pemilik lahan dengan diikuti perubahan penggunaan lahannya.
Ø  Perubahan pemilik lahan dengan diikuti perubahan penggunaan lahan pada sebagian lahan tersebut.
Ø  Tidak terjadi perubahan pemilik lahan tetapi terjadi perubahan penggunaan pada lahan tersebut.
            Dari perubahan proses tersebut, dapat ditarik dasar perubahan adalah pada atribut pemililkan dan penggunaan atas lahan tersebut. Desa merupakan suatu lokasi di pedesaan dengan kondisi lahan sangat heterogen dan topografi yang beraneka ragam. Pola tata ruangnya sangatlah tergantung pada topografi yang ada. Pola tata ruang merupakan pemanfaatan ruang atau lahan di desa untuk keperluan tertentu sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan berguna bagi kelangsungan hidup penduduknya.
            Kawasan pedesaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan kawasan perkotaan. Menurut UU nomor 26 tahun 2007 dan Peraturan Menteri PU nomor 41 tahun 2007, kawasan pedesaanadalah wilayah yang memiliki kegiatan utama pertanian (agraria) termasuk pengelolaansumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Berbeda dengan kawasan perkotaan yang didominasi oleh kegiatan bukan pertanian. Berikut ini akan dijelaskan penggunaan lahan yang secara umum ada di kawasan pedesaan dan perkotaan
o   Penggunaan Lahan Pedesaan
            Lahan pedesaan sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan sektor pertambangan danagraria, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Sesuai dengan karakteristik aktivitasnya, penggunaan lahan di kawasan pedesaan cenderung mempergunakan unit lahanyang luas dengan intensitas penggunaan yang rendah, artinya cenderung bukan lahan terbangun.
            Klasifikasi lahan pada kawasan pedesaan ada beberapa jenis (Sadyohutomo, 2006: 46), antara
lain :
ü  Perkampungan, adalah kawasan yang digunakan untuk tempat tinggal masyarakat secara tetap yang meliputi bangunan dan pekarangannya.
ü  Industri, adalah kawasan yang dipergunakan untuk kegiatan ekonomi pengolahan bahanbahan bau menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
ü  Pertambangan, adalah kawasan yang dieksploitasi untuk pengambilan material bahan tambang baik secara terbuka maupun tertutup.
ü  Persawahan, adalah kawasan pertanian yang terdiri dari petak-petak pematang dan digenangi air secara periodik, ditanami padi dan dapat pula diselingi tanaman palawija, tebu, tembakaudan tanaman semusim lainnya. Persawahan ini dapa diklasifikasikan lagi menjadi sawah beririgasi , sawan non-irigasi dan sawah pasang surut.
ü  Persawahan, adalah kawasan pertanian yang terdiri dari petak-petak pematang dan digenangi air secara periodik, ditanami padi dan dapat pula diselingi tanaman palawija, tebu, tembakaudan tanaman semusim lainnya. Persawahan ini dapa diklasifikasikan lagi menjadi sawah beririgasi , sawan non-irigasi dan sawah pasang surut.
ü  Pertanian tanah kering semusim, adalah areal tanah pertanian yang tidak pernah dialiri air dan mayoritas ditanami tanaman umur pendek.
ü  Perkebunan, adalah kawasan yang ditanami satu jenis tanaman keras.
o   Pemanfaatan lahan di desa dibedakan atas dua fungsi, yaitu:
1.      Fungsi sosial adalah untuk perkampungan desa.
2.      Fungsi ekonomi adalah dimanfaatkan untuk aktivitas ekonomi seperti , sawah, perkebunan, pertanian dan peternakan
Dalam penataan ruang desa maupun kota diperlukan empat komponen, yaitu :
1.      Sumberdaya alam,
2.      Sumber daya manusia,
3.      IPTEK dan
4.      Spatial (keruangan)
Pola tata ruang desa pada umumnya sangat sederhana, letak rumah di kelilingi pekarangan cukup luas, jarak antara rumah satu dengan lain cukup longgar, setiap rumah mempunyai halaman, sawah dan ladang di luar perkampungan.
Pada desa yang sudah berkembang pola tata guna lahan lebih teratur, yaitu adanya perusahaan yang biasa mengolah sumberdaya desa, terdapat pasar tradisional, tempat ibadah rapi, sarana dan prasarana pendidikan serta balai kesehatan. Semakin maju daerah pedesaan, bentuk penataan ruang semakin teratur dan tertata dengan baik.
Pola persebaran dan pemukiman desa menurut R Bintarto (1977) sebagai berikut:
1.      Pola Radial
2.      Pola Tersebar
3.      Pola memanjang sepanjang pantai
4.      Pola memanjang sepanjang sungai
5.      Pola memanjang sepanjang jalan
6.      Pola memanjang sejajar dengan jalan kereta api
Bentuk dan pola tata ruang kota, dalam penataannya tidak terlepas memperhatikan corak kehidupan penduduk, karena penduduk kota sudah memiliki corak ragam kehidupan yang heterogen, sehingga pola pola tataguna lahan untuk ruang di kota sudah dirancang dengan baik terutama memperhatikan pengadaan sarana perkotaan dengan baik dan terpadu yang meliputi :
1.      Penyediaan air bersih
2.      Drainase yang baik
3.      Pengelolaan sampah
4.      Sanitasi lingkungan
5.      Perbaikan kampong
6.      Pemeliharaan jalan kota
7.      Perbaikan prasarana fungsi pasar.

No comments:

Post a Comment